Ajaran TRI NGA oleh Ki. Hajar Dewantara

Ki. Hajar Dewantara sebagai pejuang pendidikan sangat begitu peduli dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Beliau memiliki kekhawatiran yang tinggi jika pendidikan di Indonesia sampai keluar dari rel yang seharusnya. Apa yang dikhawatirkan oleh Ki. Hajar telah menjadi kenyataan saat kini.
Secara nyata berbagai permasalahan sudah menerpa generasi muda, seperti kasus “begal” yang melibatkan siswa-siswa sekolah, kasus kenakalan remaja seperti gang motor, vandnalisme, tingginya kasus narkoba, ancaman terorisme yang melibatkan generasi muda, virus korupsi dan berbagai tindakan intoleransi yang mengakibatkan rapuhnya nilai-nilai kebangsaan.

Istilah “begal” yang saya ketahui diwaktu masih kecil, diartikan sesorang atau segerombolan orang yang melakukan pencegatan untuk merebut harta bawaannya kepada seseorang yang sedang melakukan perjalanan di malam hari di antara satu desa dan desa lain, dimana jarak desa yang satu ke desa yang lain cukup jauh.
Pendidikan adalah kawah Candradimuka untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas. Ironisnya berbagai permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa saat ini sudah disampaikan jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka oleh Bapak Pendidikan Nansional Ki. Hajar Dewantara yang dikenal dengan ajaran ataupun konsep “TRI NGA”, namun seolah masih menjadi sesuatu hal yang baru.
Ajaran dan konsep TRI NGA tersebut adalah “Ngerti” (kognitif), “Ngrasa” (Afektif) dan “Nglakoni” (Psikomotorik).
Pada tahun 1936 dalam sebuah buku “Keluarga” Ki. Hajar Dewantara menguraikan pentingnya pendidikan budi pekerti.
“Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga. Ketahuilah jika budi itu berarti pikiran, perasaan, dan kemauan, dan pekerti itu artinya tenaga. Jadi budi pekerti itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga”
Pendidikan sebaiknya mampu mengalahkan dasar-dasar jiwa manusia untuk melenyapkan atau menutupi sifat-sifat yang jahat.