Coretan ini merupakan renungan sebagai pendorong kebangkitan kembali kebudayaan Jawa yang akhir-akhir ini semakin ditinggalkan dan terpinggirkan seiring datangnya kebudayaan modern. Para pemikir muslim Indonesia kontemporer banyak mengapresiasi pemikiran Barat dan Timur Tengah, tetapi terkesan masih minim perhatian terhadap pemikiran Islam Jawa. Untuk itu, perlu kiranya menghadirkan kembali warisan Islam Jawa kuno agar menemukan relevansinya bagi konteks kekinian dan keindonesiaan.
Untuk menganalisis nalar Islam Jawa secara objektif dibutuhkan pula upaya pembacaan terhadap teks-teks primer Islam Jawa kuno, karena bahasa Jawa merupakan perangkat budaya yang berperan membentuk world-view atau weltanschauung ala Islam Jawa.
Sebelum nalar Islam Jawa dirumuskan, kebudayaan Jawa awalnya lekat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Kebudayaan tersebut kemudian mengalami perubahan pasca masuknya agama Hindu-Budha dari India. Pengaruh kebudayaan India melalui medium bahasa Sansakerta ke dalam kebudayaan Jawa meliputi pelbagai macam aspek kehidupan; dari aspek sistem kepercayaan, kesusastraan, kesenian, mitologi, astronomi, dan disiplin pengetahuan lainnya. Asimilasi dan akulturasi ini berlangsung selama berabad-abad.
Seiring dengan menguat dan melemahnya kerajaan Majapahit, terjadilah pasang surut kejayaan kebudayaan Hindu-Budha. Hegemoni kebudayaan Hindu-Budha melemah pada abad ke-14 sejalan dengan runtuhnya Majapahit yang mengakibatkan daerah Tuban, Gresik, Demak, Pati, Jepara, Kudus, dan lain-lain menyatakan diri lepas dari kekuasaan Majapahit.
Kesultanan Islam Demak kemudian muncul di bawah kepemimpinan Raden Patah, raja terakhir Majapahit. Kekuasaan Islam Demak ini menjadikan Islamisasi sebagai proyek resmi negara setelah sebelumnya Islamisasi hanya melalui jalur perdagangan dan dengan cara yang tidak terorganisir. Proyek Islamisasi ini tumbuh berkembang didukung oleh para wali yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Para leluhur Islam Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Songo ini telah merancang proyek kebudayaan Islam lokal dalam rangka menyebarkan nilai-nilai religius yang senafas dengan tradisi Jawa melalui proses asimilasi dan akulturasi yang panjang.
Proyek Islamisasi yang dicanangkan oleh Wali Songo dan penguasa Demak ini direalisasikan melalui pendekatan kesenian tembang Lir-Ilir yang diciptakan oleh Sunan Kali Jaga menurut satu versi, sementara menurut versi lain diciptakan oleh Sunan Giri. Kandungan tembang ini membawa misi pembasisan nalar Bayani melalui penyebaran Syarengat (Syariat) di tanah Jawa.
Tembang yang penuh dengan metafora ini diawali dengan lirik “Lir ilir lir ilir tandure wus sumilir” yang artinya “Sayup-sayup tanaman mulai bersemi”, seperti berseminya Islam di tanah Jawa. Tak Ijo royo-royo. Tak sengguh tamanten anyar; warna tanaman itu hijau seperti hijaunya simbol Islam. Sedemikian hijaunya tanaman itu seperti pengantin baru. Pemeluk Islam di Jawa masih sangat hijau dan awam ibarat pengantin baru yang memulai mahligai bahtera rumah tangga. Cah angon cah angon penekna blimbing kuwi; anak-anak penggembala, panjatlah pohon blimbing itu. Seorang pemimpin kesultanan Demak adalah para penggembala (al-imam ra’in), sehingga para Wali Songo meminta bantuan mereka untuk memanjat buah blimbing yang diibaratkan dengan tugas penyebaran syariat Islam. Blimbing adalah buah yang memiliki lima sisi sehingga secara simbolis sama seperti jumlah rukun Islam yang ada lima; syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira; meskipun licin, teruslah memanjat untuk mencuci pakaianmu. Meskipun banyak rintangan, teruslah menyebarkan syariat untuk mencuci ragamu dengan aturan-aturannya. Dodotira dodotira kumintir bedah ing pinggir. Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padang rembulane. Mumpung jembar kalangane; jahitlah pakaianmu yang sobek, jahitlah untuk menghadap Tuhan nanti sore (hari Kiamat). Mumpung masih ada kesempatan.
Implementasi rukun Islam di Jawa belumlah maksimal, sehingga perlu dioptimalkan. Shalat yang sejatinya berfungsi mengendalikan kerusakan sosial (tanha ‘an fakhsyai wa al-munkar) belum dijalankan secara baik. Jika pun dilaksanakan, shalat hanya dipahami sebagai ritual simbolis-formalistik belaka tanpa mempunyai fungsi sosial yang positif, sehingga tak heran jika banyak orang menjalankan shalat tetapi masih melakukan korupsi, menjadi mafia pajak, dan melakukan kekerasan atas nama agama. Zakat juga belum maksimal sehingga belum mampu mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Puasa Ramadhan—yang diproyeksikan untuk melatih solidaritas sosial—belum membuahkan hasil yang diharapkan. Bukannya solidaritas sosial yang didapat, justru umat Islam cenderung terjebak dalam tindakan-tindakan anarkisme dan main hakim sendiri. Haji yang awalnya adalah “wisata historis-religius” direduksi hanya menjadi kendaraan untuk memperoleh posisi sosial yang lebih terhormat. Kurang optimalnya peran sosial agama Islam ini disebabkan oleh pemaknaan dan penghayatan agama yang dangkal. Hal ini membuktikan bahwa nalar Islam Jawa masih dalam fase “ijo royo-royo”, yakni fase hijau dan awam yang terjebak pada formalisme belaka.
Sun suraka surak hiyo; sambutlah ajakan ini dengan seruan “Ayo”. Sayangnya, belakangan ini seruan “Ayo” diganti oleh kalangan Islam radikal dengan pekikan suara keras “Allahu Akbar” penuh emosi, tanpa ketulusan dan kadang justru untuk menakut-nakuti. Teriakan “ayo” seyogyanya dipahami secara filosofis dengan cara mengoptimalkan fungsi sosial syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Jika syahadat mampu menciptakan keimanan penuh kebebasan, shalat mampu menjaga stabilitas sosial, zakat mampu mengentaskan kemiskinan, puasa mampu membangun solidaritas sosial, dan haji menjadi ajang musyawarah international kaum muslimin dalam rangka perdamaian global, maka ini adalah tanda bahwa fase ijo royo-royo sudah terlewati. Dalam konteks inilah kita perlu mentransformasikan nalar Islam Jawa dari formalisme menuju penghayatan yang lebih substantifistik terhadap “sejatining makno agomo” atau the true meaning of religion.