“Dosa siapa, …………. Salah siapa“. Itulah senandung alunan dari Ebit G. Ade Keelokan, keindahan alam bumi Nusantara yang tak tepermanai dan kekayaan alam yang berlimpah ruah sungguh merupakan karunia selaksa surga. [ Gemah Ripah Loh Jinawe ]. Kiranya sangat naif rasanya apabila menafikannya meski sebagai bangsa acap kali kita lupa menjaganya dengan penuh bijaksana.
Kendati kita tidak bisa membohonginya realita bahwa bumi Nusantara, ibu pertiwi ini berada di kawasan cincin api (ring of fire) yang selalu bergejolak. Bahkan menjadi tempat pertemuan lempeng kulit bumi dinamis. Realitas ini mustinya membuat kita terjaga mau tidak mau, suka tidak suka, negeri ini ditakdirkan sebagai negeri rawan bencana. Berbagai macam bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat buah tangan manusia menjadi sah menyapa kita. Mulai banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi tektonik maupun volkanik, puting beliung, banjir lumpur (yang tak serius ditangani) menjadi saksi perjalanan panjang negeri ini. Secara kasatmata bencana berarti kehancuran. Segala upaya yang telah di bangun dalam perjalanan panjang negeri ini bisa saja hancur dalam sekejap akibat dahsyatnya bencana. Peradaban yang adiluhung, beserta artifak yang menjadi saksi eksistensinya, segera terserak dan terkubur di kedalaman pilu. Bencana menyisakan duka ketika miliki dan kita jaga dengan sepenuh hati. Sebagai negeri yang “dipaksa takdir” harus berkawan dengan bencana, sungguh kita dituntut untuk mematut diri agar bisa hidup bersanding dengannya. Butuh kearifan (wisdom) untuk bijak memaknai dan memahami alam raya ini. Hanya keheningan hati yang sungguh memandu kita untuk melihat lebih jernih segala hikmah yang tersembunyi di balik bencana. Setiap bencana sesungguhnya bisa dimaknai sebagai apa saja, bergantung dari perspektif mana kita hendak memaknai. Sebagian kita memaknai bencana sebagai cobaan, peringatan atau bahkan azab dari Tuhan. Semua tersebab oleh perilaku kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Apabila kita berkenan bijak bertanya kepada ruang batin, kita akan temui realita bahwa di balik segala kehancuran dan kerusakan akibat bencana, kita sungguh tengah diajari untuk menjadi negeri yang bertumbuh menjadi jauh lebih baik. Salah satu pelajaran terbaik yang semoga kita dapati adalah kesadaran bahwa sebagian besar bencana yang terjadi di bumi Nusantara ini merupakan bencana yang disebabkan ulah manusia (anthropogenous origin). Jika kita tidak segera berbenah dan berubah, bukan mustahil cerita tentang negeri indah ini hanya akan tinggal sejarah. Sudah saatnya kita terjaga bahwa umat manusia adalah jagat kecil (mikrokosmos) berupa pribadi-pribadi yang bersemayan dalam jagat gede bernama alam raya (makrokosmos). Yang kita butuhkan adalah kesadaran berlaku “nyawiji” (menyatu, manunggal) dan daya adaptasi mematut diri untuk berkarib dengan irama alam. Kearifan ekologis akan menyadarkan dan memandu laku kita bahwa sesungguhnya alam bekerja dalam sebuah sistem kesetimbangan. Perilaku buruk kita mengusik kesetimbangan alam itulah yang kemudian akan berbuah bencana. Bukankah telah nyata kerusakan di darat dan di laut yang disebabkan oleh ulah tangan-tangan manusia.