Renungan tembang Ilir-Ilir karya Sunan Kalijaga yang penuh makna dan pitutur.
Mengajak semua memasuki dunia Lir ILir……(Lir iLir….Lir iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar………..)
Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari, sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra. Continue reading →
Acara budi upaya kembar-mayang ini biasanya menjadi puncak perhatian dalam malam midodareni. Kedatangan para pembawa kembar-mayang beserta pengawalnya dianggap sebagai kehadiran bidadara dan bidadari yang membawa berkah Tuhan untuk menghiasi perkawinan pengantin, sehingga malam itu tidak hanya dipandang sebagai malam tirakatan tetapi juga malam bidadari (midodareni). Dalam rangkaian kegiatan ini biasa dilaksanakan upacara yang umum disebut ‘panebusing kembar-mayang’ (nebus kembar-mayang). Selanjutnya sepasang kembar-mayang diletakkan pada tempat yang terhormat, yakni di kanan-kiri krobongan (petanen). Usai penempatan kembar-mayang dilanjutkan tirakatan sampai tengah malam menjelang selamatan majemukan Midodareni, merupakan kegiatan tirakatan yang diadakan oleh keluarga calon pengantin putri pada malam menjelang dilangsungkannya ijab dan upacara panggih pengantin. Kegiatan tirakatan ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan awal manton adat jawa, yang biasanya dihadiri tetangga dekat, sanak saudara, kerabat dan panitia perhelatan manton.
Malam midodareni sering dikatakan malam yang sakral, mengingat pada malam itu kedua calon pengantin sudah melakukan siraman. Dirinya sudah bersih dan suci, baik lahir maupun batinnya. Dengan kesuciannya itu dirinya sudah siap manganti (menanti) datangnya kejadian yang dianggap penting dan sakral dalam hidup manusia, yakni perkawinan.
Berikut ini teks pranatacara bahasa Jawa, sebagai pengantar acara ini : Kulo nuwun, panjenenganipun sesepuh lan pinisepuh soho poro kadang mitro, werdho mudo ingkang pantes sinudarsono. Kanthi linambaran trap silo ing budi, miwah ngaturaken agunging pangaksomo mugi pinarengno kulo hambuko wiwaraning suko wenganing wicara, duwaraning kandha, kanthi cumanthaka marak mangarsa hanggempil kamardikan panjenengan ingkang katemben wawan pangandikan, inggih awit mradapa keparengipun kadang kulo anem adimas Wagiyo Mardiwiyono sekalian garwa saperlu ngudaneni pamotahipun ingkang putro putrinipun ingkang asesilih roro Sri Purwanti ingkang badhe polokrami pikantuk anakmas Adi Setyo Prabowo putro kakungipun bapak Sri Wono dene pamotahipun mboten sanes inggih menika nyuwun tumuruning wahyu jodho utawi nebus kembar mayang pramilo dhumateng poro-poro ingkang piniji kulo aturi sawega ing diri siyogo ing gati.
Mengawali prosesi upacara ini, Hamengku Gati (yang mempunyai hajat) memanggil Sang Saraya Jati (ngudi kembar mayang) diiringi gendhing Ketawang Sekar Tejo Sl. Myr.
Dilanjutkan dengan dialog (bahasa jawa) antara Saraya Jati, Hamengku Gati , dan Jati Wasesa (penunggu Kembar Mayang) – [Adegan I] Continue reading →