Asale mung saka dele (Asalnya hanya dari kedelai)
Nadyan barang sepele (Walaupun barang sederhana)
Nanging nyata enak rasane (Akan tetapi enak rasanya)
Kabeh-kabeh mbutuhake (Semuanya sama membutuhkan)
Jalaran murah regane (Oleh karena murah harganya)
Itulah sekilas lirik dari tembang Tahu Tempe yang dikreasi dalam versi gendingan jawa oleh Paguyuban Karawitan Studio RRI Surakarta.
Tempe secara tidak langsung bisa dikatakan menjadi salah satu identitas bagi Indonesia. Tempe sudah ada sejak zaman doeloe, zaman pemerintahan Sultan Agung, raja Mataram yang arif dan bijaksana. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kata “tempe” pada Serat Centini.
Dalam bukunya “History of Tempeh” yang ditulis oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, tradisi membuat tempe di Indonesia khususnya di Jawa sudah sejak abad ke-16. Tentunya tidak heran jika tempe menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Ini juga menunjukkan bahwa tempe merupakan salah satu bukti kecanggihan bioteknologi yang ditunjukkan oleh orang-orang Jawa di masa lalu.
Pada waktu itu untuk mendapatkan jamur pengikat tempe, mereka menggunakan punggung daun waru. Setelah kedelai dibersihkan dan direbus diletakkan di punggung daun waru untuk beberapa saat hingga kedelai tersebut saling mengikat kuat.
Untuk membuat tempe, diperlukan suhu sekitar 30 derajad Celcius (suhu normal Indonesia), karena di luar pada suhu tersebut ikatan ragi atau jamur Rizhopus Oligosporus pada kedelai akan kurang aktif. Kendati negara lain seperti Jepang dan Cina yang sering dianggap sebagai tempat asal muasal tempe[h], akan sulit untuk mendapatkan suhu tersebut.
Sejatinya tempe sudah menarik perhatian dunia sejak Belanda menguasahi Nusantara. Bahkan di Belanda telah di bangun pabrik tempe pertama disana.
Dari situlah kemudian menjadi dikenal di negara-negara Eropa dengan nama “Tempeh” (mereka menambahkan “h” agar tetap terbaca tempe).
Tempe … oh tempe kemana engkau gerangan !
Engkaulah makanan kesayanganku, apalagi bersandingan dengan Tahu,… benar-benar makanan rakyat yang uenak. ❗ ❓