Semar dalam bahasa Jawa disebut Badranaya. Bebadra berarti membangun dari dasar, dan Naya = Nayaka berarti utusan mangrasul. Artinya : mengemban sifat membangun dan pelaksanaan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Illahi. Semar berjalan selalu menghadap keatas, maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq) yang maha pengasih dan penyayang umat.
Kain semar Parangkusumorojo : sebagai perwujudan Dewanggo Wantah (untuk menuntun manusia) agar Memayu Hayuning Bawono (mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi).
Dari aspek etimologi, Joinboll (Mulyono 1978:28) berpendapat bahwa Semar berasal dari “Sar” yang berarti sinar, cahaya atau nurcahya yang didalamnya terdapat atau bersemayan Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Illahiah.
Semar merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sifat lahir dan keterdidikannya (Suseno 1988:190). Sifat Illahiah itu ditujukkan pula dengan sebutan Badranaya yang berarti “pimpinan rahman” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih (Timoer,tt:13). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling “rasa ingat” (Timoe 1944:4) yaitu ingat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta dan segala ciptaannya yang berupa alam semesta.
Lakon atau cerita pewayangan “Semar mBangun Jati Diri” gagasan dari presiden Suharto kepada para dalang agar berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4, diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh “sangkan paraning dumadi” ilmu asal dan tujuan hidup.
Semar meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun dibalik wujud lahiriah tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar dan bijaksana. Kulit luarnya kasar, sedang dalamnya halus.
Dalam ilmu berpolitik, semar adalah penngeja wantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni “Maunggaling Kawula dan Gusti” (kesatuan hamba dengan raja). Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini. Seorang pemimpin sebesar bangsa Nusantara ini harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum Negara dn kepentingan obyek hukum. Hukum negara yang baik di atas, belum tentu berakibat baik, kalau yang di atas itu tidak di padukan dan di sinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat.
Semar gampang menangis melihat penderitaan orang lain dari pada menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan diri sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orng lain. Ego Semar itu telah lenyap diganti oleh orang lain.
Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya, tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin tidak menangisi dirinya yang di hujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang di hujat bawahan-bawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyat, tetapi memarahi dirinya akibat di marahi rakyat.
Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, namun tetap berkasih sayang. Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilan dengan kasih sayang untuk memelihara kehidupan.
(Disarikan dari berbagai sumber)