Mudik Lebaran dapat diartikan sebagai sarana untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman untuk silahturahmi dengan kawan, kerabat dan handai taulan. Mudik lebaran juga merupakan momentum untuk dapat bersilahturahmi dengan keluarga dan masyarakat setelah sekian lama tidak bertemu. Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan sosial-kultural ketika pada saat menjelang lebaran.
Tradisi mudik ini dijakini sebagai kebiasaan yang masih belum tergantikan meski dengan adanya teknologi telekomunikasi seperti handphone dan lain sejenisnya untuk saling memberikan ucapan.
Awalnya mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa bahkan sejak sebelum masa kerajaan Majapahit. Tradisi pulang kampung setelah setahun sekali ini terus bertahan hingga sekarang. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal.
Kata “mudik” berasal dari frase “udik” artinya ndeso, desa, dusun atau kampung. Mudik berarti pulang ke nDeso atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari raya Idul Fitri atau Lebaran.
Secara filosofis dipahami sebagai kembali ke hulu atau dalam falsafah Jawa disebut “sangkan paraning dumadi” yaitu mengingatkan bahwa siapapun akan kembali menyatu dengan yang asal. Kembali ke indung asal kehidupan, kembali ke Sang Pencipta dengan seluruh warga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Padanan untuk itu adalah bulan Puasa bagi umat Islam, atau puncaknya pada hari lebaran.
Tradisi untuk nyekar atau menebar bunga di kuburan nenak moyang, mengirim makanan bagi sanak saudara, yang semua itu dilakukan merupakan kulturisasi Islam terhadap budaya sebelumnya.
Ema Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bukunya “Sedang Tuhan pun Cemburu” (1994) menulis, “orang beramai-ramai mudik sebenarnya sedang setia kepada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya”. Cah Nun menambahkan secara akar runtutan historis, setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan, komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak dan ibu, alam semesta yang berpangkal atau berujung dari Allah. Keselarasan ini diwujudkan para pemudik dengan bersusah payah bisa berada di tengah-tengah keluarga dan sanak kerabat tatkala Idul Fitri tiba dalam sebuah perhelatan silahturahmi dengan saling memaafkan serta menunaikan kewajiban membayar zakat.
Ngaturaken Sugeng Riyadi Idul Fitri 1435 H katur sadaya sadherek sutrisna ingkang ngriyayakaken dinten agung punika.
Pak Wandi kaliyan bu Nani, tahun punika kondur dateng “Jawi” punapa boten?
Martinus
Matur nuwun. Kula sakluarga “nengga” Jakarta kok pak. Keluarga Bsr (Wonogiri) sami ngempal ing Jkt. Bade wangsul Klaten kok kados sampun boten wonten ingkang dipun tuju (mara sepuh sampun sami seda )
Mbok menawi Pak Wandi sekluarga ingkang kondur “ngetan”
Mas Martinus dan Bu Nani.
Semanten ugi kula sekeluarga ngaturaken Sugeng Riyadi wonten kalepatan nyuwun gunging pangapunten.
Mugi Allah SWT tansah ngijabahi tali silahturahmi kita.
Tahun meniko kula sekeluarga dalah kangmas soho adik mboten mudik dateng nDeso.