Nasi jagung adalah suatu makanan yang terbuat dari jagung. Tahun 1963-1964 pangan begitu susah diperoleh, rakyat terpaksa harus makan nasi jagung. Itulah yang mendorong orkes Barisan Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) untuk merilis lagu Nasi Djagung dalam albumnya Gemah Ripah.
– Lagu Djagung (Oslan Husein) = melodi mirip lagu apa?
– Mari Bertjotjok Tanam (Bersama)
– Nelajan (Surti Suwandi & Sjaiful Nawas)
– Nasi Djagung (Sjaiful Nawas)
Silahkan nikmati Nasi Djagung yang enak rasanya sumbangsih dari koleksinya Mas Bambang H, disini.
matur nuwun Mas Wandi dan Mas Bambang Hartoko; saya jadi ingat di tahun 60an ada beras tiruan buatan pabrik di Jogja, campuran dari bahan-2: keTela, Kacang dan Djagung (Tekad) 😉
Mas Wiyono ..
saya pernah dengar beras tekad tapi kok sudah lupa ya bentuknya kayak apa , lebih dulu mana sama bulgur , klo bulgur saya tahu warnanya agak merah .. klo beras tekad bentuknya bagaimana warnanya apa ? ..
Mas Bambang, saya juga ingat ‘bulgur’, warnya merah kecoklatan 🙂
Beras Tekad, yang saya ingat warnamya putih layaknya beras yang di-slip/ disosoh dari gabah [padi]; ukuran butirannya juga menyerupai, tetapi karena butirannya hasil cetakan maka bentuknya sedikit kaku [ada sudut runcingnya] tidak sebagaimana beras padi yang butirannya beragam ada kecil ada besar, bahkan ada butiran menir karena pecah waktu disosoh/ di-slip. 🙂
Satu lagi yang khas [tapi khas-nya ke arah negatif] yaitu kalau tidak segera disantap dan bahkan basi setengah hari maka lembek seperti bubur kental 😉
Itu makannya harus dalam kondisi yang masih panas, sebab kalau sudah dingin akan jadi lembek seperti jenang dan rasanya sudah tidak enak lagi. Iya kan mas Wijono.
Satu lagi seingat saya ada beras aking, yaitu bekas nasi yang sudah dikeringkan kemudian dimasak, hahahaha mengingatkan kala masih usia belasan tahun
yaak.. benar..! nilai 100 buat Mas Wandi 😀
lha klo nasi aking (ditempatku namanya karag) sih sering makan , klo nggak di kukus ya di goreng dikasih kelapa (ditpatku namanya cengkaruk) .. aduh nikmatnya jaman dulu .. sekarang karagnya kadang2 ada tapi masaknya muales .. he he
————————————————–
Kalau karak itu terbuat dari gendar, gendar asalnya dari nasi dikasih sejenis campuran yang asin. Gendar dipotong-potong jadi tipis kemudian terus dijemur sampai kering. Nah setelah kering baru itu digoreng, jadilah karak.
Karak ada lagi yang dibuat dari pati ……, ah biar mas Wijono yang lanjutkan tentang karak ini.
betul peribahasa .. lain ladang lain belalang .. ha ha
nek gendar diris tipis2 klo tempatku namanya krupuk puli .. itu bukan dari karak tapi dari nasi biasa terus diberi bleng (semacam garam ) , diiris tipis, jemur, goreng …. kriuk2 renyah uenak tenan .. klo di madiun namanya gendar/ krupuk gendar .. lanjuut
———————————-
Bener lain tempat lain nama… tapi betul itu karak, yang setiap sy pulang ke Solo pasti tidak lupa mborong karak baik yang sudah matang maupun yang mentah. Yang matang dicomoti satu2 utk dimakan sambil menyusuri jalan Solo – Jakarta.
Hui uenak tenan…..
ini baru seru, yang dibahas bukan lagunya, tapi nostalgianya. hanya disini saya dapatkan suasana seperti ini.
suatu hari ibu saya pernah mengumpulkan ranting kayu kering untuk memasak bulgur, karena kompornya kehabisan minyak tanah. Untuk dapat minyak tahan harus ngantri, itupun seminggu hanya 2 kali, jadi kalau habis ya pakai kayu bakar.
Justru dengan kayu bakar itu (bahan alami), masakan lebih uenak rasanya ketimbang dengan bahan bakar minyak ataupun gas.
Ingat waktu doeloe, ketika Ibu memasak ketupat dengan kayu bakar dari ranting2 pepohonan. Rasanya benar2 lebih nikmat.
Salam buat mas Bambang, rasanya ingin sekali bertemu muka…. kapan ya!
Lho kok malah bahas makanan ? tapi, ikutan aaaah.
Beras TEKAD, saya pernah dengar tapi belum pernah melihat ataupun mencicipi. Tapi kalau bulgur, enak juga ya. Apalagi kalau dikrawu dengan kelapa parut dan garam. Lumayan untuk ngganjel perut yang ( waktu itu ) selalu kelaparan. Bapak2, belum pernah dhahar thiwul kan? Itu makanan pokok dari daerahnya mbah saya di Wonogiri. Saya juga dibesarkan dengan menyantap thiwul lho he he he.
Tentang gendar, itu makanan yang dibuat dari nasi yang dicampur bleng/cethithet, terus ditumbuk seperti jadah/ketan uli. Dimakan dengan tempe bacem, wuiiih enaknyaaa. Tapi kalau diiris tipis2, kemudian dijemur lalu digoreng, itu namanya karak. Hehehe karak oleh2nya pak Wandi enak sekali lho. Kapan2 saya sowan aah, siapa tahu masih ada ha ha ha
Apa yang bu Nani sebut (thiwul, gendar, bulgur) saya juga pernah mencicipi. Beras TEKAD saya belum pernah merasakan ataupun melihatnya. Kata orang, bentuknya segitiga kecil-kecil ya.
Selain thiwul ada juga “gathot” dan “heweg-heweg” yang sekarang nampaknya agak sulit dijumpai. Termasuk juga “grontol” (jagung “prithilan” yang direbus ditambah bumbu tertentu. Saya kurang tahu apa namanya di daerah lain.
Yah, itulah masa lalu. Masa yang sudah hilang yang tak mungkin lagi untuk diulang. Mungkin hanya bisa diingat lewat komunikasi melalui media seperti blog ini ………..
Salam,
Martinus
Kalau thiwul, gathot dan grontol masih bisa kita peroleh.
Saya kalau ketagihan nyuruh nyonya untuk beli di pasar tradisional. Baru kemarin saya dapat pemberian tetangga “mbili”, hayo masih ingat nggak jenis makanan ngrowot lainnya (spt garut, ganyong, gadhung, telo, uwi, etnthik) 🙂
ha ha .. lanjut ..
dua makanan diatas kan terbuat dari gaplek klo ditumbuk jadi thiwul , klo di iris2 jadi gathot , dulu ya sering makan krn ada yg jual sekarang ga ada yg jualan .. gapleknya langka kali ..
makanan yg nggrowot lainnya : tales, mbothe, bentul , suweg juga gembili dan p0hung .. atau masih ada lagi .. lanjut..
.. lanjut.. nasi rames ampera 😉
Nasi ramesnya ke P Sidempuan ya mas
Mas Wandi, minggu lalu aku ada kirim berita ke email Mas Wandi. Apakah email masih yang lama atau ada yang baru? Oh, aku ada koleksi lagu anak dalam bah. Jawa, berisikan ; kupu kiwi, tasya ketupat, aku duwe pitik, lir ilir, kidang talun, ojo rame dan lain lain. Kalau berkenan bisa dinaikkan. Terima kasih Mas.
Imelnya kemana